TNews, BITUNG- Suasana Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang seyogianya menjadi ruang konstruktif untuk menyuarakan aspirasi publik, mendadak berubah tegang setelah salah satu peserta, Novianto Topit, memilih meninggalkan ruang sidang sebelum forum usai.
Kejadian itu berlangsung saat Ketua Panitia Khusus (Pansus) Penyertaan Modal mulai memberikan tanggapan atas sejumlah masukan yang telah disampaikan oleh peserta RDPU.
Tindakan Novianto yang tiba-tiba bangkit dan keluar dari ruangan sontak menuai kecaman dari beberapa anggota DPRD yang hadir.
RDPU tersebut menghadirkan berbagai elemen penting, mulai dari pihak Perumda Air Minum Duasudara, pemerintah kota, organisasi masyarakat sipil, hingga tokoh-tokoh agama dan masyarakat.
Bagi kalangan legislatif, keputusan Novianto dianggap mencederai semangat dialog yang menjadi dasar forum RDPU. Anggota Pansus, Inggrid Janis, menilai sikap tersebut sebagai bentuk tidak menghargai forum yang telah terbuka memberi ruang bagi partisipasi publik.
“Kita semua menyimak saat beliau berbicara. Tapi ketika giliran Ketua Pansus memberi tanggapan, beliau justru pergi. Ini bukan hanya soal sopan santun, ini soal menghormati lembaga,” ujar Inggrid.
Senada, Lady Lumantouw mempertanyakan komitmen peserta RDPU terhadap nilai-nilai dialog yang adil dan setara.
“Kalau hanya ingin bicara tapi tidak mau mendengar, ini bukan forum yang tepat. Kami mempertimbangkan kembali untuk melayani RDPU dari pihak yang tidak menghargai proses seperti ini,” tegas Lady.
Sementara itu, Yani Ponengoh menyebut tindakan walkout tersebut sebagai contoh buruk bagi proses demokrasi.
“Kehadiran di forum resmi seperti DPRD menuntut kedewasaan sikap. Semua pihak lain bersikap tertib, tapi beliau memilih keluar begitu saja. Ini tidak mencerminkan etika publik yang sehat,” kata Yani.
Dikonfirmasi terpisah, Novianto Topit menjelaskan bahwa keputusannya meninggalkan forum bukan dilandasi niat meremehkan DPRD. Ia menegaskan bahwa dirinya sudah mendengarkan seluruh aspirasi yang berkembang dalam forum, dan telah menyampaikan poin-poin yang dibawanya.
“Saya keluar bukan karena tidak menghargai DPRD. Saya hadir dari awal, mendengar, dan menyampaikan aspirasi dari masyarakat, LSM, dan tokoh agama.
Setelah itu, saya pamit karena ada agenda lain, sama seperti Pak Nyong Wenas yang juga keluar lebih dulu,” jelasnya.
Ia juga menyoroti reaksi sebagian anggota dewan yang menurutnya terlalu membesar-besarkan kejadian tersebut.
“Saya kira ini tidak perlu didramatisir. Kalau saya dianggap tidak menghargai karena pamit, lalu bagaimana dengan anggota Pansus yang lebih dulu keluar?” ujarnya mempertanyakan.
Lebih jauh, Novianto menyampaikan kekhawatiran terkait sikap sebagian anggota DPRD yang menyatakan akan menolak permintaan RDPU darinya di masa depan.
“Kalau jalur RDPU sudah ditutup bagi masyarakat, itu sama saja mendorong kami menyampaikan aspirasi lewat jalanan. Karena aspirasi pasti tetap akan disuarakan, entah lewat meja sidang, atau lewat demonstrasi,” tegasnya.
Peristiwa ini menyisakan catatan penting bagi dinamika demokrasi lokal di Kota Bitung. Di satu sisi, forum seperti RDPU adalah simbol terbukanya kanal dialog antara masyarakat dan wakil rakyat.
Namun di sisi lain, keberlangsungan forum semacam ini menuntut komitmen bersama untuk menjaga etika, kedewasaan, dan saling menghargai di tengah perbedaan pandangan.
RDPU tetap berlanjut hingga selesai, namun insiden walkout tersebut menjadi bahan evaluasi serius bagi DPRD dalam menjaga marwah forum publik ke depan.