Fahry Widu Lamato Kritik CV Multi Rempah Sulawesi, Tuntut Hak Pekerja dan Negosiasi Terbuka

Ketua DPC KSPSI Kota Bitung yang juga berprofesi sebagai pengacara, Fahry Widu Lamato, S.H.,
Ketua DPC KSPSI Kota Bitung yang juga berprofesi sebagai pengacara, Fahry Widu Lamato, S.H., (Foto.Ist)

TNews, BITUNG- Ketua DPC KSPSI Kota Bitung yang juga berprofesi sebagai pengacara, Fahry Widu Lamato, S.H., mengecam keras tindakan CV. Multi Rempah Sulawesi yang mem-PHK sejumlah pekerjanya tanpa memberikan hak-hak normatif.

Menurut Fahry, perusahaan memang tidak berkewajiban membayar pesangon apabila pekerja terbukti melakukan pelanggaran berat, namun pekerja tetap berhak atas Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) dan Uang Penggantian Hak (UPH) sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2023 Pasal 156 serta PP No. 35 Tahun 2021.

Bacaan Lainnya

Pernyataan ini muncul setelah salah satu pekerja yang di-PHK, Nelji Larengam, mengungkapkan bahwa dirinya dan rekan-rekan bersedia dipenjara jika memang dinyatakan bersalah.

Namun hingga kini, menurut Nelji, tuduhan pelanggaran berat yang diarahkan kepada mereka oleh pihak perusahaan, Disnaker, hingga Komisi I DPRD Bitung belum pernah terbukti.

Ketika pekerja berani berkata ‘kami siap dipenjara kalau kami bersalah’, itu menunjukkan ada tekanan dan ketidakadilan yang sangat dirasakan. Negara semestinya hadir untuk memberikan perlindungan,” tegas Fahry.

Fahry menambahkan bahwa pihaknya meminta seluruh pemangku kepentingan untuk segera menyelesaikan sengketa ketenagakerjaan ini melalui negosiasi yang kuat dan transparan.

Ia mengingatkan bahwa KSPSI siap melakukan aksi turun ke jalan apabila persoalan ini terus dibiarkan berlarut-larut.

Ia juga menyoroti kedekatan personal antara kuasa hukum perusahaan dan Kepala Disnaker Bitung, yang menurutnya seharusnya bisa menjadi modal untuk mencari solusi yang tidak merugikan pekerja.

Terlebih, pengacara perusahaan tersebut disebut pernah menjadi kuasa hukum buruh bongkar muat di Pelabuhan Bitung, sehingga diyakini memahami posisi pekerja di mata hukum.

Sementara itu, Ketua Organisasi POLA, Puboksa Hutahaean, menegaskan bahwa permasalahan ini mestinya dapat diselesaikan apabila semua pihak menjunjung nilai budaya “Sitou Timou Tumou Tou”.

Bayangkan, di pelabuhan ia membela buruh, tapi di perusahaan justru membela bos. Jika memang ada kesalahan fatal seperti yang disebut Komisi I, Disnaker, dan perusahaan, buktikan. Jika tidak, segera bayarkan hak-hak pekerja,” ujar Puboksa.

Ia bahkan menduga adanya ketidakteraturan dalam perizinan dan kewajiban perusahaan.

Menurutnya, advokasi ini bukan hanya untuk pekerja yang sudah di-PHK, tetapi juga untuk melindungi mereka yang masih bekerja dan rentan mengalami perlakuan serupa.

“Kalau kita tidak bisa memperbaiki republik ini, minimal kita perjuangkan daerah kita,” tegasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan