Truk Pelat Luar Rusak Jalan Bitung, Pajak Mengalir ke Daerah Lain

Truk bertonase besar berpelat nomor luar Provinsi Sulawesi Utara. Kamis, 18/12/2025.
Truk bertonase besar berpelat nomor luar Provinsi Sulawesi Utara. Kamis, 18/12/2025. (Foto.mirawan)

TNews, BITUNG– Jalan-jalan Kota Bitung hancur perlahan, namun bukan karena bencana alam.

Penyebabnya jelas dan kasat mata: ratusan truk bertonase besar berpelat nomor luar Provinsi Sulawesi Utara yang setiap hari bebas melintas, mengangkut keuntungan besar, tanpa menyetor pajak sepeser pun ke kas daerah.

Bacaan Lainnya

Ironisnya, kerusakan infrastruktur yang ditinggalkan justru sepenuhnya menjadi tanggungan Pemerintah Kota Bitung.

Sementara itu, pajak kendaraan bermotor dari truk-truk tersebut mengalir deras ke daerah asal, sesuai kode pelat masing-masing.

Bitung hanya mewarisi lubang jalan, debu, dan risiko kecelakaan.

Investigasi di lapangan menunjukkan, kendaraan-kendaraan tersebut bukan sekadar “singgah”.

Banyak di antaranya telah beroperasi bertahun-tahun di kawasan pelabuhan Bitung.

Namun hingga kini, tidak ada penertiban serius, tidak ada kewajiban mutasi, dan tidak ada sanksi nyata.

Situasi ini menimbulkan dugaan kuat adanya pembiaran sistemik.

Lebih mencengangkan, sebagian besar truk pelat luar itu beroperasi di area vital yang seharusnya diawasi ketat, seperti kawasan Pelabuhan Bitung.

Fakta ini memunculkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin kendaraan non-lokal beroperasi bebas tanpa kontribusi PAD, sementara instansi terkait seolah menutup mata?

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Bitung, Theo Rorong, akhirnya angkat suara.

Ia menegaskan bahwa kendaraan yang beroperasi permanen di Bitung seharusnya melakukan mutasi ke Sulawesi Utara.

Namun pernyataan ini sekaligus membuka tabir lemahnya koordinasi dan pengawasan lintas sektor selama ini.

“Kami mendapati kendaraan berpelat luar daerah, seperti pelat L dari Surabaya, membayar pajak di sana, padahal aktivitasnya sepenuhnya di Bitung,” ungkap Theo.

Pernyataan tersebut mempertegas ketimpangan fiskal yang terjadi secara terang-terangan.

Di satu sisi, Pemkot Bitung mengeluarkan anggaran besar untuk perbaikan jalan.

Di sisi lain, sumber pajak justru dinikmati daerah lain tanpa beban infrastruktur.

Publik kini mempertanyakan ketegasan pemerintah daerah dan aparat terkait.

Mengapa truk-truk ini tidak ditertibkan?

Mengapa mutasi kendaraan hanya sebatas imbauan?

Apakah ada kepentingan tertentu yang membuat praktik ini terus berlangsung?

Tanpa langkah represif berupa penertiban, pembatasan operasional, hingga sanksi administratif, persoalan ini berpotensi menjadi skandal tata kelola daerah.

Negara terkesan hadir untuk industri, namun absen melindungi kepentingan rakyat dan keuangan daerah.

Jika pembiaran ini terus terjadi, Kota Bitung bukan hanya kehilangan PAD, tetapi juga menjadi simbol kegagalan negara dalam mengelola keadilan fiskal dan perlindungan infrastruktur publik.

Jalan rusak bisa diperbaiki, tetapi kepercayaan publik yang hancur jauh lebih sulit dipulihkan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan